Pengantar Pendidikan - Hakikat Manusia dan Pengembangannya


HAKIKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
            Keberadaan manusia dari sejak kelahirannya terus mengalami perubahan-perubahan,baik secara fisik maupun secara psikologis. Manusia yang merupakan makhluk hidup dengan akal budi memiliki potensi untuk terus melakukan pengembangan.Sifat pengembangan manusia menunjukan sisi dinamisnya,artinya perubahan terjadi terus-menerus pada manusia tidak ada yang tidak berubah,kecuali perubahan itu sendiri.Salah satu pengembangan manusia, yaitu melalui pendidikan.Melalui pendidikan manusia berharap nilai-nilai kemanusiaan di bariskan bukan sekadar diwariskan melainkan menginternalisasi dalam watak dan kepribadian nilai-nilai kemanusiaan penuntun manusia untuk hidup berdampingan dengan manusia lain.Upaya pendidikan  melalui internalisasi nilai-nilai kemanusiaan menuntun untuk memanusiakan manusia.Oleh karena itu,pendidikan menjadi kebutuhan manusia. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang di sebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Oleh karena itu, strategis jika pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada seluruh pengkajian tentang pendidikan, dengan harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya. Untuk mencapai pengetahuan hakikat manusia tersebut maka akan dikemukakan materi yang meliputi : arti dan wujud sifat hakikat manusia,dimensi hakikat manusia serta potensi, keunikan, dan dinamikanya, pengembangan dimensi hakikat manusia dan sosok manusia seutuhnya
2.Tujuan
  • Untuk memahami tentang sifat hakikat manusia
  • Untuk memahami dimensi-dimensi hakikat manusia
  • Untuk memahami pengembangan dimensi hakikat manusia
  • Untuk mengenal sosok manusia Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
        Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Pemahaman pendidik terhadap sikap hakikat manusia akan membentuk peta tentang karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi acuan bagi pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional didalam interaksi edukatif. Gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya pengembangan sains dan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, adalah sangat strategis jika pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (intergrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Di sebut hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimilki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan.
A.    Sifat Hakikat Manusia
            Kata manusia berasal dari bahasa sansekerta”manu”, dan dalam bahasa latin “mens” yang artinya berfikir, berakal budi atau homo, yang berarti manusia. Sifat hakikat manusia menajadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normative.  Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manus ia dari hewan . Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologinya.    Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara GRADUAL. Wujud sifat hakikat manusia, pada bagian ini akan di paparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensi dengan maksud menjadi masukan membenahi konsep pendidikan. Wujud dari sifat hakikat manusia yang tidak dimiliki oleh hewan yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, menurut Prof. Dr. Umar Tirtaraharja menyatakan :
1.    Kemampuan Menyadari Diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat jarak dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun nonpribadi. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda.    Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di dalam pendidikan perlu untuk dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak dengan dirinya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian, seorang aku dapat berperan ganda yaitu sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Hal inilah yang disebut dengan pendidikan diri sendiri atau oleh Langeveld disebut self forming.
2.  Kemampuan Bereksistensi
Kemampuan bereksistensi adalah kemampuan manusia menempatkan diri dan dapat menembus atau menerobos serta mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Sehingga manusia tidak terbelenggu oleh tempat dan waktu. Dengan demikian manusia dapat menembus ke sana dan ke masa depan. Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, mengantisipasi keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu serta mengembangkan imajinasi kreatifnya sejak masa kanak-kanak.
3. Kata hati 
Kata hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dsb. Conscience bermakna pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia. Pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberikan penerangan tentang baik buruk perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang baik dan benar, buruk dan salah, ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri) dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik-benar, buruk-salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar  orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4. Moral
Moral merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati. Dengan kata lain, moral adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala antara moral dan hati masih terdapat jarak. Artinya, seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu perbuatannya itu merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam hal ini diperlukan kemauanuntuk menjembatani jarak di antara keduanya. Yang dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan kodrat manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral yang benar-benar baik bagi manusia. Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam disebut dengan moral yang buruk sehingga orang yang melakukan moral yang buruk ini disebut orang yang tak bermoral. Moral disebut juga dengan etika. Selain etika, juga terdapat kata yang pengertiannya sering disamakan oleh orang, yaitu etiket. Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama. etika tidak hanya berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga salah/buruk, sedangkan etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun. Dengan demikian, berdasarkan perbedaan pengertian antara etika dan etiket, dapat dikatakan  bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan santun) bisa jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam suatu pembelajaran, peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral yang baik. Jika ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita akan menghasilkan kaum intelektual yang tak bermoral.
5. Tanggung jawab
Sifat tanggung jawab adalah kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab yang telah dilakukannya. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada bertanggung jawab kepada dirinya sendiri bentuk tuntutannya adalah penyesalan yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat bentuk tuntutannya adalah sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara dan lain-lain. Tanggung jawab kepada tuhan bentuk tuntutannya adalah perasaan berdosa dan terkutuk.
6. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini sebenarnya ada dua hal yang saling bertentangan yaitu rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”. Meskipun antara rasa “bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” ini bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka adalah rasa bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan kodrat manusia. Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk dari kata hati. Jika hal ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut dengan kebebasan semu. Kebebasan semu segera diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat  bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
7. Kewajiban dan Hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu, tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Walaupun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya. Hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai beban. Sebenarnya kewajiban bukan beban, melainkan suatu keniscayaan (Drijarkara, 1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia, kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya ia mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu dilaksanakan, hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dsb. 
Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa dikhianati, kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak percaya. Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan suatu keniscayaan. Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun, terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia boleh memilih dengan konsekuensi jika taat, akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi, atau harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan.
8. Kemampuan Menghayati Kabahagiaan
Hampir semua orang merasakan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan sebenarnya tak mudah dijabarkan meskipun mudah dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim dengan kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira dikatakan sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi mengaanggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen daripada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagian lebih merupakan integrasi atau rentetang dari sejumlah kesenangan. Malah ada yang lebih jauh lagi berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari semuanya itu menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”. Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan. 
Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu, dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal kebahgiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian karena aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagianya itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar dan aspek rasa. Berarti dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Menurut hemat penulis, konsep kebahagiaan seperti yang disebutkan ini tampaknya dapat diterima. Kebahagiaan pada dasarnya akan dapat dirasakan seseorang jika orang tersebut dapat mengahayati suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh seseorang, tetapi juga pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya. Tidak sedikit orang yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia karena mereka tidak menghayati kebahagiaan itu. Barangkali konsep “menghayati” ini sama dengan “bersyukur” jika dikaitkan dengan agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang dapat dikategorikan sebagai orang yang bahagia. 
Tampaknya pendapat ini tak dapat dibenarkan seratus persen. Adakalanya orang yang terlihat senang sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat padanya hanya merupakan manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak ingin orang lain tahu bahwa dirinya menderita. Dengan demikian, untuk menutup penderitaannya itu, ia memperlihatkan kepada orang lain bahwa dirinya senang.  Di atas telah disebutkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud dengan usaha, norma, dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.
            Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan menghadapi itulah realitas hidup.  Oleh karena itu masalah hidup harus dihadapi. Selanjutnya, usaha untuk mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada norma-norma yang berlaku dalam agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah hidup itu diatasi tanpa memperhatikan norma-norma, orang tersebut tentu tidak akan mengalami hidup yang merdeka. Dengan demikian, jika orang tersebut tidak mengalami hidup yang merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia. Setelah manusia mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal terakhir yang dapat dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan rangkaian usaha. Berarti seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia telah melalui dua rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah jika ada orang yang menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha. Memang sakit adalah takdir, tapi jika orang tidak berusaha untuk mengatasi sakit tersebut, tentu kemungkinan besar sakitnya tidak akan sembuh.
            Berkaitan dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya menurut penulis masih ada wujud sifat hakikat manusia yang lain yang tak dapat diabaikan, yaitu kemampuan berbahasa. Hal ini pula yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat, 2006: 24). Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa, sedangkan hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah disamakan dengan ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat, yaitu bahasa binatang. Sebenarnya yang dimaksud dengan manusia berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa hewan tidak memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh manusia. Karakteristik kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer, sistematis dan sistemis, simbol, menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental, mengandung kriteria semantis atau fungsi semantik tertentu, terbatas dan relatif.
B. Dimensi Hakikat Manusia Serta Potensi, Keunikan, Dan Dinamikanya
        Pada pembahasan telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat tersebut akan di bahas lagi dimensi-dimensinya atau di tilik dari sisi lain. Ada empat macam dimensi yang akan di bahas, yaitu:
1. Dimensi Keindividualan      
Lysen mengartikan individu sebagai ”orang seorang” sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecendrungan, semangat dan daya tahan yang berbeda. Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan cirri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Sifat sifat sebagaimana di gambarkan di atas secara potensial telah di miliki sejak lahir perlu ditumbuh kembangkan melalui pendidikan agar  bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa di bina, melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian seseorang tidak akan terbentuk semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai milikinya. Padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk kepripadiannya atau menemukan kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan  berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam hubungan ini disebut pendidikan yang patologis.
2. Dimensi kesosialan
Setiap anak dikaruniai kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung untuk saling memberi dan menerima. Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampat lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorogan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya. Seorang berkesempatan  untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang di kagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat yang tidak di cocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaanya.
3. Dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tidak cukup hany dengan berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu terkandung kejahatan terselubung. Oleh karena itu, pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan sering digunakan istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang berbuat jahat berarti melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika dan tidak bermoral, sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Susila sebenarnya mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai yang dimaksud dapat berupa nilai otonom, nilai heteronom, nilai keagamaan. Dalam kenyataan hidup, ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Dalam pelaksanaannya, keduanya harus dulaksanakan secara sinkron.

4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah mahluk religius. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopa    Manusia memerlukan agama demi kesalamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama, jadi segi-segi afektif harus di utamakan. Di samping itu mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian.

C. Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia
        Sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaanya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahannya yang lazimnya di sebut salah didik. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu:
1. Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua factor, yaitu kulaitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat dari berbagai segi yaitu, wujud dan arahnya.
a. Dari wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Pengembangan aspek jasmaniah dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang.  Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman dikatakan utuh jika semua dimensi tersebut mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya. Pengembangan domain kognitif, afektif dan psikomotor dikatakan utuh jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang berimbang.
b. Dari arah pengembangan
Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman secara terpadu. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia yang utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara selaras. Perkembangan di maksud mencakup yang bersifat horizontal (yang menciptakan keseimbangan) dan yang bersifat vertical (yang menciptakan ketinggian martabat manusia).  Dengan demikian totalitas membentuk manusia yang utuh.
2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara vertical ada domain tingkah laku terabaikan penanganannya. Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

D. Sosok Manusia Seutuhnya
        Manusia seutuhnya berarti adalah sosok manusia yang tidak parsial, fragmental. Apalagi split personality. Utuh artinya adalah lengkap, meliputi semua hal yang ada pada diri manusia. Manusia menuntut terpenuhinya kebutuhan jasmani, rohani, akal, fisik dan psikisnya. Berdasarkan pikiran dimikian dapat diuraikan konsepsi manusia seutuhnya ini secara mendasar yakni mencakup pengertian sebagai berikut:
1.  Keutuhan potensi subyek manusia sebagai subyek yang berkembang.
2. Keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai subyek yang sadar nilai yang menghayati    dan yakin akan cita-cita dan tujuan hidupnya.
   Selain hal tersebut, manusia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan spiritual, berkomunikasi atau berdialog dengan zat Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, manusia juga memerlukan keindahan dan  estetika. Manusia juga memerlukan penguasaan ketrampilan tertentu agar mereka bisa berkarya, baik untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri maupun orang lain. Semua kebutuhan itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Tidak boleh sebagian saja dipenuhi dengan meninggalkan kebutuhan yang lain. Orang tidak cukup hanya sekedar cerdas dan terampil, tetrapi dangkal spiritualitasnya. Begitu pula sebaliknya, tidak cukup seseorang memiliki kedalaman spiritual, tetapi tidak memiliki kecerdasan dan ketrampilan. Tegasnya, istilah manusia utuh adalah manusia yang dapat mengembangkan berbagai potensi posisitf yang ada pada dirinya itu. Jika pemahaman terhadap manusia seutuhnya seperti itu, maka pendidikan seharusnya mengembangkan berbagai aspek itu. Pendidikan tidak tepat jika hanya mengembangkan satu aspek, tetapi melupakan aspek-aspek lainnya. Pendidikan agama adalah sangat penting, tetapi tidak boleh terlalu mengesampingkan intelektualitasnya. Sebaliknya juga tidak tepat pendidikan hanya mengedepankan pengembangan kecerdasan dan ketrampilan, dengan mengabaikan pengembangan spiritual.
   Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia ditangani oleh dua kementerian, yaitu kementerian pendidikan dan kebudayaan dan kementerian agama. Selain itu,masih ada kementerian lain yang juga menyelenggarakan pendidikan, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Itulah sebabnya di negeri ini disebut telah terjadi dualisme penyelenggaraan pendidikan. Yaitu terdapat sekolah yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan madrasah serta pondok pesantren yang berada di bawah Kementerian Agama. Di sekolah umum, sekalipun diajarkan agama.jumlah jam pelajaran yang disediakan tidak terlalu banyak. Demikian pula sebaliknya, di pondok pesantren lebih mengutamakan pendidikan agama, dan dalam banyak kasus tidak memberikan pengetahuan umum. Sedangkan di madrasah selama ini sudah dilakukan perbaikan kurikulum dengan memberikan pengetahuan umum dan agama secara seimbang, atau sama banyak jumlahnya. Namun begitu, terkait pendidikan agama, selama ini belum ditemukan metodologi yang dirasa memuaskan. Agama masih diajarkan dan belum sepenuhnya dididikkan yang sebenarnya. Sebetulnya, terbatasnya waktu yang disediakan untuk pendidikan agama di sekolah tidak mengapa, asalkan kekurangan itu dapat ditambal oleh lingkungan keluarga dan juga oleh masyarakat. Namun pada kenyataannya, pendidikan agama di keluarga maupun  di masyarakat sudah semakin melemah. Atas dasar alasan-alasan kesibukan orang tua atau juga keterbatasan pemahaman agama, maka pendidikan agama di lingkungan keluarga dan di masyarakat tidak dapat dimaksimalkan. Kegiatan mengaji di langgar, mushalla, masjid dan lain-lain tampaknya sudah semakin berkurang, tidak saja di perkotaan tetapi juga di pedesaan.
    Kenyataan seperti itu menjadikan manusia yang utuh sebagaimana yang dicita-citakan semakin sulit dipenuhi. Pendidikan berjalan secara terpragmentasi atau terpilah-pilah, mengedepankan sebagian dan mengabaikan bagian lainnya. Akibatnya, manusia utuh sebagaimana yang dicita-citakan menjadi tidak jelas kapan akan berhasil diraih. Oleh karena itu, perlu kiranya dipikirkan secara saksama dan mendalam untuk mendapatkan konsep pendidikan yang dipandang lebih ideal un tuk menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik dan maju. Berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, lokakarya dan semiloka terus dilakukan guna mencari sebuah model pendidikan yang dianggap dapat membebaskan manusia dari sikap ketergantungan terhadap benda, pendidikan yang dapat membebaskan manusia dari pendewaan terhadap dunia, dan atau model pendidikan yang dapat mencetak manusia yang utuh, yakni manusia yang manusiawi, manusia memiliki nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan manusia seutuhnya, pada dasarnya merupakan tujuan yang hedak dicapai dalam konsep Value Education atau General Education yakni:
1) manusia yang memiliki wawasan menyeluruh tentang segala aspek   kehidupan, serta
2) memiliki kepribadian yang utuh. Istilah menyeluruh dan utuh merupakan  dua terminologi yang memerlukan isi dan bentuk yang disesuaikan dengan konteks sosial budaya dan keyakinan suatu bangsa yang dalam bahasa lain pendidikan yang dapat melahirkan: a) pribadi yang dapat bertaqarrub kepada Allah dengan benar, dan    b) layak hidup sebagai manusia.
    Untuk dapat menghasilkan manusia yang utuh, diperlukan suri tauadan bersama antar keluarga, masyarakat, dan guru di sekolah sebagai wakil pemerintah. Patut diingat bahwa pembentukan jati diri manusia utuh berada pada tataran afeksi, dan pembelajarannya dunia afeksi hanya akan berhasil apabila dilakukan melalui metode pelakonan, pembiasaan, dan suri tauladan dari orang dewasa.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
        Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sifat hakikat manusia dan segenap dimensinya hanya dimilki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dari dunia manusia. Adanya hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi dari pada hewan dan sekaligus mengusai hewan. Salah satu hakikat yang istimewa ialah adanya kemampuan menghayati kebahagian pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuhkembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang utuh.

DAFTAR PUSTAKA

http://macro bio student ummy solok_ makalah pengantar pendidikan“hakikat manusia dan pengembangannya”.html
http://Konsep manusia seutuhnya.htm
Pengantar pendidikan,Prof.DR.Umar tirtarahardja dan Drs.s.L.La Sulo

 http://Hakikat Manusia dan Perkembangannya _ Afid Burhanuddin.html

http://nursekhamaulida makalah pendidikan manusia seutuhnya.htm

http://pengantar pendidikan – ringkasan materi _ suharnisihombing.htm

https://nahulinguistik.wordpress.com/2012/09/04/hakikat-manusia-dan-pengembangannya/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Pancasila - Esensi dan Urgensi Pendidikan Pancasila Untuk Masa Depan

Pengantar Pendidikan - Sistem Kelembagaan dan Pengelolaan Pendidikan Nasional

Laporan Biologi - Percobaan Bunga Berwarna