Pengantar Pendidikan - Aliran-aliran Pendidikan
ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang
sangat vital bagi pembentukan karakter sebuah peradaban dan kemajuan yang
mengiringnya. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan pernah
mendapatkan kemajuannya segingga menjadi bangsa atau masyarakat yang kurang
atau bahkan tidak beradab. Karena itu, sebuah peradaban yang memberdayakan akan
lair dari suatu pola pendidikan dalam skala luas yang tepat guna dan efektif
bagi konteks dan mampu menjawab segala tantangan zaman.
Pendidikan di dalam masyarakat
senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi
yang sejalan dengan tuntunan perkembangan dan kemajuan masyarakat dari zaman ke
zaman. Mengingat perkembangan kehidupan dan pelaksanaan pendidikan bersifat
dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun bersifat dinamis (sesuai dengan
alam pikir dan dinamika manusian
Sejak dulu, kini, maupun di masa
depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
sosial budaya dan perkembangan iptek. Pemikiran-pemikiran yang membawa
pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti dalam
bidang-bidang lainnya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung
seperti suatu diskusi berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu
ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, dan karena
dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru, dan demikian
seterusnya.
1.2. Tujuan
1. Memahami
pengertian aliran-aliran pendidikan.
2. Memahami
aliran-aliran klasik dalam pendidikan (epirisme, nativisme, naturalisme, dan
konvergensi) serta pengaruhnya di Indonesia.
3. Memahami
beberapa gerakan baru dalam pendidikan, utamanya pengajaran, serta pengaruhnya
di Indonesia.
4. Memahami
gagasan-gagasan pokok dua tonggak pemikiran pendidikan di Indonesia (Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam), upaya-upaya, dan
hasil-hasilnya.
BAB
II
ISI
2.1. Pengertian Aliran-Aliran Pendidikan
Aliran-aliran
pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan dunia pendidikan.
Pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seperti suatu diskusi
berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu ditanggapi dengan pro
dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, sehingga timbul pemikiran baru, dan
juga seterusnya.
Aliran-aliran
dalam pendidikan perlu dikuasai oleh para calon pendidik karena pendidikan tidak
cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan
deskriptif saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik (menyeluruh).
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai
sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan
generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari
orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan,
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno
sampai kini, dikenal dengan istilah rumpun aliran klasik dan aliran (gerakan)
baru.
2.2. Pengertian Aliran-Aliran Klasik dalam
Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran
Pendidikan di Indonesia
Aliran
klasik merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran
pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran
tersebut meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan
kovergensi. Aliran-aliran itu mewakili bebragai variasi pendapat tentang
pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis.
Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan
mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedangkan sebaliknya, aliran
yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk
sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada diantara kedua kutub tersebut, yang
dapat dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
a.
Aliran
Empirisme
Empirisme berasal dari
kata empire, artinya pengalaman. Tokoh utama aliran ini ialah John Locke
(1632-1704). Nama
asli aliran ini adalah “The School of British Empiricism” (aliran
empirisme Inggris). Jhon Locke mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang
bersih. pengalaman empirik yang di peroleh dari lingkungan akan berpengaruh
besar dalam menentukan perkembangan anak. Namun aliran ini lebih berpengaruh
terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran
filsafat bernama “environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi
bernama “environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif
masih baru (Syah, 2002). Selain Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang mempunyai
pandangan hampir sama, yaitu Helvatus, ahli filsafat Yunani yang berpendapat, bahwa
manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama yaitu suci dan bersih.
Pendidikan dan lingkungan yang akan membuat manusia berbeda-beda (Djumransjah,
2004).
Masa perkembangan anak
menjadi dewasa itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan
pendidikan yang diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik
apa saja menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas), pengalaman dari lingkungan
itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi & Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Menurut
Mudyahardjo et al (1992) empirisme
dipandang sebagai hal yang paling produktif, karena dalam dunia pendidikan
lingkunganlah yang berperan besar untuk membentuk potensi dan pengetahuan
peserta didik. Ada beberapa lingkungan yang berperan dalam proses pendidikan, diantaranya
adalah lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam proses ini inderawi
sepenuhnya sangat berperan dalam berlangsungnya proses pendidikan dan menjadi
hal yang nyata dalam praktek pendidikan.
Aliran
ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia ditentukan
sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman yang berada di luar diri manusia, baik
yang sengaja di desain melalui pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman
tidak disengaja yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam
sekitar. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan masa depan
manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam, seperti bakat dan
keturunan tidak mempunyai pengaruh sama sekali dalam menentukan masa depan
manusia (Setianingsih, 2008).
Aliran
empirisme dipandang sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang di
peroleh dari lingkukngan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak
lahir dianggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari
terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya
tidak mendukung.
Keberhasilan
ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa
kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat
mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun
demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang
memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama
melalui modifikasi tingkah laku.
Aliran
empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama Amerika Serikat. Aliran ini
dalam perkembangannya menjelma menjadi aliran/ teori belajar behaviorisme yang
dipelopori oleh William James dan Large. Banyak pula pengaruh aliran ini
terhadap pandangan tokoh pendidikan Barat lainnya, seperti Watson, Skinner,
Dewey, dan sebagainya.
Behaviorisme
itu menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya,
dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar
semata-mata. Meskipun demikian, pandangan behavioral ini juga masih bervariasi
dalam menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu
(Milhollan dan Forisha, 1972 : 31-79; Ivey, et.al, 1987 : 231-263) sebagai
berikut :
1. Pandangan
yang menekankan peranan stimulus (rangsangan) terhadap perilaku seperti dalam “Classical Conditioning” atau “Respondent Learning” oleh Ivan Pavlov
(1849-1936) di Rusia dan Jon B. Watson (1878-1958) di Amerika Serikat.
2. Pandangan
yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku
seperti dalam “Operant Conditioning” atau
“Instrumental Learning” dari Edward
George L. Thorndike (1874-1949) dan Burrhus F. Skinner (1904) di Amerika
Serikat.
3. Pandangan
yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi seperti dalam “Observational Learning” yang dipelopori
oleh N. E. Miller dan J. Dollard dengan “Social
Learning and Imitation” (diterbitkan ada tahun 1941) dan dikembangkan lebih
lanjut oleh A. Bandura dengan “Participant
Modeling” (diterbitkan tahun 1976) maupun dengan “Self-Efficacy” (diterbitkan pada tahun 1982).
b.
Aliran
Nativisme
Aliran
nativisme berlawanan dengan aliran
empirisme. Nativisme berasal dari kata nativus
yang berarti kelahiran atau native yang
artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur Schopenhauer
(1788-1860) seorang filosof Jerman (Ilyas, 1997). Dalam artinya yang terbatas,
juga dapat dimasukkan dalam golongan Plato, Descartes, Lomborso, dan pengikut-pengikutnya
yang lain. Nativisme berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa
sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan. Sifat-sifat
dan dasar-dasar tertentu yang bersifat keturunan (herediter) inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan
anak, serta hasil pendidikan sepenuhnya (Nadirah, 2013).
Aliran
nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial, pembinaan dan pendidikan.
Aliran nativisme ini nampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam
diri manusia dan aliran ini erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam
penentuan baik dan buruk manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau
kurang memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan (Nata, 2002). Nativisme
menganggap pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan tidak berarti, tidak mempengaruhi
perkembangan anak didik, kecuali hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan
saja. Apabila seorang anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu
pula sebaliknya. Apabila seorang anak mempunyai potensi intelektual rendah maka
akan tetap rendah (Djumransjah, 2004). Pandangan tersebut dikenal dengan pesimisme paedagogis, karena sangat
pesimis terhadap upaya-upaya dan hasil pendidikan.
Beberapa
tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah Rochacher, Rosear, dan
Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia adalah hasil proses alam yang
berjalan menurut hukum tertentu. Manusia tidak dapat mengubah hukum-hukum
tersebut. Rosear mengatakan bahwa manusia tidak dapat didik. Pendidik malah
akan merusak perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan atau
membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara itu, Basedow mengatakan
bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas kecenderungan berkembang yang wajar
dari anak. Aliran ini juga disebut predestinatif yang menyatakan bahwa
perkembangan atas nasib manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni tergantung
pada bawaan dan bakat yang dimilikinya.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme menolak dengan tegas adanya
pengaruh eksternal. Pendidikan tidak berpengaruh sama sekali dalam membentuk
manusia menjadi baik. Pendidikan tidak bermanfaat sama sekali. Sebaliknya, kalau
kita menginginkan manusia menjadi baik, maka yang perlu dilakukan adalah
memperbaiki kedua orang tuanya karena merekalah yang mewariskan faktor-faktor
bawaan kepada anak-anaknya. Nativisme jelas merupakan aliran yang mengakui adanya
daya-daya asli yang telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke dunia. Daya-daya
tersebut ada yang dapat tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuan
manusia dan ada yang dapat tumbuh berkembang hanya sampai pada titik tertentu
sesuai dengan kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008). Para ahli yang
berpendirian nativisme biasanya mempertahankan kebenaran konsep ini dengan
menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan
anak-anaknya (Sabri, 1996). Meskipun begitu, kemiripan atau pembawaan sifat
baik secara fisik maupun bakat seorang anak bukanlah satu-satunya faktor yang
menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi
pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
Terdapat
suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni bahwa dalam
diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G. Leibnitz: Monad) yang mendorong
manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan
manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandangan-pandangan
tersebut tampak antara lain humanistic
psychology dari Carl R. Rogers ataupun pandangan phenomenology/humanistik lainnya. Meskipun pandangan ini mengakui
pentingnya belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan
persepsi seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa
yang dijalaninya itu. Dengan kata lain, pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of reference” yang
dimilikinya. Pendekatan ini sangat mementingkan pandangan holistik (menyeluruh,
gestalt), serta pemahaman perilaku orang dari sudut pandang si empunya perilaku
itu. Terdapat variasi pendapat dari pendekatan phenomenology/humanistik tersebut (Milhollan dan Forisha, 1972:
81-123, et.al, 1987 : 267-197 sebagai berikut :
1) Pendekatan
aktualisasi diri atau non-direktif (client
centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham Maslow.
2) Pendekatan
“Personal Constructs” dari George A.
Kelly yang menekankan betapa pentingnya memahami hubungan “transaksional” antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal awal
memahami perilakunya (Ivey, et. al., 1987 144 dan 154).
3) Pendekatan
“Gestalt”, baik yang klasik (Max
Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun pengembangan selanjutnya (K. Lewin dan F.
Perls).
4) Pendekatan
“Search for Meaning” dengan
aplikasinya sebagai “Logotherapy” dari
Viktor Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya semangat (human spirit) untuk mengatasi berbagai
tantangan/masalah yang dihadapi.
Aliran
ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun, mendidik menurut aliran ini
membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan
anak tergantung kepada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki anak.
Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan oleh
pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles permukaan peradaban dan tingkah
laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam dan kepribadian anak, tidak perlu
ditentukan.
c.
Aliran
Naturalisme
Natur
atau natura artinya alam, atau apa
yang dibawa sejak lahir. Aliran ini meiliki persamaan dengan aliran nativisme
(beberapa ahli menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”).
Istilah natura telah dipakai dalam
filsafat dengan bermacam-macam arti, dari
dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme
dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari alam, dan segala
sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di tangan manusia”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang baik, maka anak
tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan
alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah sejak kelahiran anak tersebut. Dengan
kata lain Rousseaue menginginkan perkembangan
anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru. Rousseaue
ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak
yang diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara
spontan dan bebas.
Rousseau menciptakan konsep pendidikan alam, artinya anak
hendaklah dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau
pendidik tidak perlu untuk
memberikan hukuman, biarlah alam yang menghukumnya.
Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air
kemudian ia gatal-gatal atau masuk
angin. Ini adalah bentuk hukuman alam. Biarlah
anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya.
d.
Aliran
Konvergensi
Salah
satu tokoh pendidikan bernama William Stern (1871-1939) telah menggabungkan
pandangan yang dikenal dengan teori atau aliran konvergensi. Aliran ini ingin
mengompromikan dua macam aliran yang eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran
nativisme, dimana pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama berpengaruh
terhadap hasil perkembangan anak didik. Stern berpendapat bahwa pembawaan dan
lingkungan merupakan dua garis yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis
pengumpul). Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil
proses kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan, serta pendidikan
(eksternal) (Djumaranjah, 2004).
Aliran
konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan
tidak akan bisa berkembang, demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada
pembawaan dari seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan pengalaman
dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk mengetahui potensi yang ada pada
anak didik yaitu dengan cara melihat potensi yang dimunculkan pada anak tersebut.
Pembawaan yang disertai disposisi telah ada pada masing-masing individu yang
membutuhkan tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya. Pada dasarnya pembawaan
adalah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau kesanggupan-kesanggupan (potensi)
yang terdapat pada suatu individu yang selama masa perkembangannya benar-benar
dapat direalisasikan.
Aliran
konvergensi pada prinsipnya berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama
pentingnya. Perkembangan jiwa seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan
lingkungannya, khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah memberi pengalaman
belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Menurut aliran konvergensi
perkembangan pribadi merupakan hasil proses kerjasama antara potensi hereditas
(internal) dan lingkungan (eksternal). Jadi menurut aliran konvergensi:
1) pendidikan
dapat diberikan kepada semua orang,
2) pendidikan
diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada peserta didik untuk
mengembangkan pembawaannya yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk,
3) hasil
pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).
Banyak
bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan
orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata waktu dan bakat orang tersebut sama
dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan
watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin
kepada cucunya atau anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat
tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
Teori
konvergensi ini pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh-kembang manusia (Tirtarahardja & Sulo, 2005),
meskipun masih ada juga beberapa kritik terhadapnya. Aliran konvergensi
dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuhan, kalau bibitnya
baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia itu
belum tentu, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu pilihan atau
seleksi dari yang bersangkutan.
e.
Pengaruh
Aliran Klasik terhadap Pemikiran dan Praktik Pemikiran di Indonesia
Aliran-aliran
pendidikan yang klasik mulai dikenal di Indonesia melalui upaya-upaya
pendidikan, utamanya persekolahan dari penguasa penjajahan Belanda yang disusul
kemudian oleh orang-orang Indonesia yang belajar di negara Belanda pada masa
penjajahan. Setelah kemerdekaan Indonesia, gagasan-gagasan dalam aliran-aliran
pendidikan itu masuk ke Indonesia melalu orang-orang Indonesia yang belajar di
berbagai negara.
Sistem
persekolahan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Sebelum masa itu pendidikan di Indonesia terutama oleh keluarga dan oleh
masyarakat (kelompok belajar/padepokan, lembaga keagamaan/pesantren, dan
lain-lain).
Tumbuh
kembang manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni hereditas, lingkungan,
proses perkembangan itu sendiri, dan anugerah. Faktor terakhir itu merupakan
pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan yang ikut menentukan nasib manusia
(Sulo Lipu La Sulo, 1981: 38-46).
Hubungan
kesetaraan dalam interaksi edukatif tersebut seyogyanya diarahkan menjadi suatu
hubungan transaksional, suatu hubungan antar pribadi yang memberi peluang baik
bagi peserta didik yang belajar, maupun bagi pendidik yang ikut belajar (colearner). Dengan demikian, cita-cita
pendidikan seumur hidup dapat diwujudkan melalui belajar seumur hidup. Hubungan
tersebut sesuai dengan asas ing ngarsa
sung tulada, ing madya mangun karsa, dan
tut wuri handayani, serta peningkatan cara belajar siswa aktif (CBSA) dalam
kegiatan belajar mengajar.
2.3. Gerakan Baru dalam Pendidikan dan Pengaruhnya di Indonesia
Gerakan-gerakan
baru dalam pendidikan pada umumnya termasuk upaya peningkata mutu pendidikan
hanya dalam satu atau beberapa komponen saja. Meskipun demikian, sebagai suatu
sistem penanganan satu atau beberapa komponen itu akan mempengaruhi pula
komponen lainnya. Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri
pada perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem
persekolahan, seperti pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian,
sekolah kerja, pengajaran proyek, dan sebagainya (Suparlan, 1984; Soejono,
1958). Gerakan-gerakan baru itu pada umumnya telah memberi konstribusi secara
bervariasi terhadap penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah
sekarang ini.
a)
Pengajaran Alam Sekitar
Gerakan ini
mendekatkan anak dengan sekitarnya, perintis gerakan ini antara lain : Fr. A.
Finger (1808-1888) di Jerman dengan heimatkunde
(pengajaran alam sekitar), dan J. Ligthart (1859-1916) di Belanda dengan Het Volle-Leven (kehidupan senyatanya).
Beberapa prinsip gerakan Heimatkunde adalah
:
1) Dengan
pengajaran alam sekitar itu guru dapat meragakan secara langsung. Betapa
pentingnya pengajaran dengan meragakan atau mewujudkan itu sesuai dengan
sifat-sifat atau dasar-dasar orang pengajaran.
2) Pengajaran
alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif atau giat
tidak hanya duduk, dengar, dan catat saja.
3) Pengajaran
alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu
bentuk pengajaran dengan ciri-ciri dalam garis besarnya sebagai berikut :
Ø Suatu
pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran dalam daftar
pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya
untuk mencapai tujuan.
Ø Suatu
pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu
bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambilkan dari alam
sekitarnya.
Ø Suatu
pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubung-hubungan
satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
Ø Pengajaran
alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan
tidak verbalistis. yang dimaksud dengan apersepsi intelektual ialah segala
sesuatu yang baru dan masuk di dalam intelek anak, harus dapat luluh menjadi
satu dengan kekayaan pengetahuan yang sudah dimiliki anak. Harus terjadi proses
asimilasi antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.
Ø Pengajaran
alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam sekitar mempunyai
ikatan emosional dengan anak.
Untuk anak pun
alam sekitar tidak berbeda dengan untuk orang dewasa; segala kejadian di alam sekitarnya
merupakan sebagian dari hidupnya sendiri, dalam duka maupun suka (perhelatan,
kelahiran, kematian, pesta desa, panen, penanaman ladang, dan sebagainya).
Demikianlah alam sekitar sebagai fundamen pendidikan dan pengajaran memberikan
dasar emosional, sehingga anak menaruh perhatian yang spomtam terhadap segala
sesuatu yang diberikan kepadanya asal itu didasarkan atas dan diambil dari alam
sekitarnya.
Sedangkan J.
Lingthart mengemukakan pegangan dalam Het
Volle Leven sebagai berikut :
1) Anak
harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya, tidak
kebalikannya, sebab kata itu hanya suatu tanda dari pengertian tentang barang
itu.
2) Pengajaran
sesunggunya harus berdasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran
yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu.
3) Haruslah
diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya ke semua jurusan, agar murid
paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya.
Pokok-pokok pendapat
pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak dilakukan di sekolah, baik dengan
peragaan, penggunaan bahan lokal dalam pengajaran, dan lain-lain.
b)
Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat
perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusta-pusat minat (Centres
d’interet), disamping pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan
menurut Decroly berdasar pada semboyan: Ecole
pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Anak harus dididik
untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak
harus diarahkan kepada pembentukan individu dan anggota masyarakat. Oleh karena
itu, anak harus mempunyai pengertahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat
dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya, tempat hidup
di hari depannya). Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi
pendidikan dan pengajaran, yang merupakan dua hal yang khas dari Decroly yaitu:
1) Metode
global (keseluruhan) : berdasar atas prinsip psikologi Gestalt, yaitu mengingat
langsung secara keseluruhan, bukan per bagian. Metode ini bersifat videovisual
sebab arti suatu kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan dengan tanda
(tulisan), atau suatu gambar yang dapat dilihat.
2) Centre d’interet (pusat-pusat
minat) : pengajaran ini harus
disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Anak mempunyai minat-minat
spontan terhadap diri, dapat kita bedakan menjadi :
Ø Dorongan
pertahanan diri.
Ø Dorongan
mencari makan dan minum.
Ø Dorongan
memelihara diri.
Sedangkan minat terhadap masyarakat
(biososial) ialah :
Ø Dorongan
sibuk bermain-main.
Ø Dorongan
meniru orang lain.
Gerakan pengajaran pusat perhatian
tersebut telah mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar
diadakan berbagai variasi (cara mengajar, dan lain-lain) agar perhatian siswa
tetap terpusat pada bahan ajaran.
c)
Sekolah Kerja
J.A. Comenius
(1592-167) menekankan agar pendidikan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa,
dan tangan (keterampilan, kerja tangan). J. H. Pestalozzi (1746-1827)
mengajarkan berbagai macam-macam mata pelajaran pertukaran di sekolahnya. Perlu
dikemukakan bahwa sekolah kerja itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan
tidak hanya demi kepentingan individu tetapi juga demi kepentingan masyarakat.
Kerschensteiner
berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak untuk
dapat bekerja. Bukan pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan pekerjaan
tangan, sebab pekerjaan tangan adalah dasar dari segala pengetahuan adat,
agama, bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Dengan demikian
banyaknya macam pekerjaan menjadi pusat pembelajaran, maka sekolah kerja dibagi
menjadi tiga golongan besar :
1) Sekolah-sekolah
perindustrian (tukang cukur, tukang cetak, tukang kayu, masinis, dan lain-lain).
2) Sekolah-sekolah
perdagangan (makanan, pakaian, bank, asuransi, dan lain-lain).
3) Sekolah-sekolah
rumah tangga, bertujuan untuk mendidik para calon ibu yang diharapkan akan
menghasilkan warga negara yang baik.
Pengikut G.
Kerschensteiner antara lain Leo de Paeuw, direktur jenderal pengajaran normal
di Belgia yang membuka lima macam sekolah kerja, yaitu :
1) Sekolah
teknik kerajinan
2) Sekolah
dagang
3) Sekolah
pertanian bagi anak laki-laki
4) Sekolah
rumah tangga kota
5) Sekolah
rumah tangga desa
Gagasan sekolah kerja
sangat mendorong berkembangnya sekolah kejuruan di berbagai negara, termasuk di
Indonesia. Peranan sekolah kejuruan pada tingkat menengah merupakan tulang
punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan oleh negara-negara membangun
seperti Indonesia. Oleh sebab itu, dalam rangka wajib belajar 9 tahun di
Indoneisa akan diekmbangkan pula paket program yang memberi peluang lulusannya
untuk memasuki lapangan kerja dengan tidak mengabaikan pendidikan umum yang
akan melajutkan ke SMTA. Di samping pengaruh sekolah kerja di program
pendidikan jalur sekolah, pengaruh terbesar gagasan ini adalah pada jalur
pendidikan luar sekolah (seperti kursus-kursus, balai, latihan kerja, dan
sebagainya).
d) Pengajaran
Proyek
Pengajaran-pengajaran
proyek diletakan oleh John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaanya dilakukan oleh
pengikutnya, utamanya W.H. Kilpatrick (1871). Dewey menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrokosmos
dari masyarakat (Becomes microcosm of
society),oleh karena itu, pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu
sendiri dan bukannya penyiapan untuk kehidupan di massa depan (Education is a process of living and not a
preparation for future living) (Ulich, 1950: 318).
Dalam pengajaran proyek
anak bebas menentukan pilihannya (terhadap pekerjaannya), merancang, serta
memimpinnya. Proyek yang ditentukan oleh anak mendorongnya mencari jalan
pemecahan bila menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena
sesuai dengan apa yang diinginkannya. Menurut Dewey yang menjadi kompleks pokok
ialah pertukangan kayu, masak, dan menenun. Dalam pengajaran proyek,
pekerjaan-pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa
gotong royong. Juga dalam bekerja sama itu akan lahir sifat-sifat baik pada
diri anak seperti bersaing secara sportif, bebas menyatakan pendapat, dan
disiplin sewajarnya.
Pengajaran proyek biasa
pula digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia, antara lain
dengan nama pengjaran proyek, pengjaran unit, dan sebagainya. Yang perlu
ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang
dan memecahkan persoalan secara komprehensif. Dengan kata lain, menumbuhkan
kemampuan persoalan secara multidisplin.
e) Pengaruh
Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Gerakan baru
dalam pendidikan berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun
dasar-dasar pikirannya tentulah menjangkau semua sei dari pendidikan, baik
aspek konseptual maupun operasional. Perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang
pemikiran-pemikiran pendidikan pada massa lalu akan sangat bermanfaat untuk
meperluas pemahaman tentang seluk-beluk pendidikan, serta memupuk wawasan
historis dari setiap tenaga kependidikan.
2.4. Gagasan-Gagasan Dua Tonggak Pemikiran Pendidikan di Indonesia
Kedua gagasan dua
tongak ini dipandang sebagai suatu tongkat pemikiran tentang pendidikan di
Indonesia. Pendidikan yang bercorak kebangsaan adalah Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa (didirikan oleh K. H. Dewantara ppada 3 Juli 1922), ruang pendidik
INS Kayu Tanam (didirikan oleh Muh. Sjafei pada 31 Oktober 1926), Kesatriaan
Institut (Bandung), Perguruan Rakyat (Jakarta) dan sebagainya.
1.
Perguran
Kebangsaan Taman Siswa
Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara (lahir 2 Mei 1889 dengan nama
Suwardi Suryaningrat) pada tanggal 3 Juli 1932 di Yogyakarta yakni dalam bentuk
yayasan, selajutnya mulai didirikan Taman Indra (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus
Guru, selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru
(Mulo-Kwekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan sehingga meliputi pula
Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
1) Asas
dan Tujuan Taman Siswa
Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk menghadapi
pemerintahan kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan
hidup bersifat nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut disingkat “Asas
1922” adalah sebagai berikut :
a. Bahwa
setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf beschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan dalam
peri kehidupan umum. Tujuan dari asas pertama ini adalah untuk mencapai
kehidupan yang tertib dan damai (tata dan tentram, Ordo on Vrede). Dari asas
ini lahirlah “Sistem Among”, yaitu cara pendidikan yang dipakai dalam sistem
Taman Siswa dengan maksud mewajibkan para guru supaya mengingati dan
mementingkan kodrati adatnya pada siswa dengan tidak melupakan segala keadaan
yang mengelilinginya.
b. Bahwa
pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan
batin dapat memerdekakan diri. Asas ini memberi ketegasan bahwa kemerdekaan itu
hendaknya dikenakan terhadap cara siswa berpikir, siswa dibiasakan untuk
menemukan atau mencari sendiri berbagai nilai pengetahuan dan keterampilan
dengan menggunakan pikiran dan kemampuannya sendiri.
c. Bahwa
pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri. Asas ini
ingin mencegas sistem pengajaran yang bersifat intelektualitis dan pola hidup
yang “kebarat-baratan” yang dapat memisahkan orang-orang terpelajar dengan
rakyat jelata pada umumnya.
d. Bahwa
pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
Asas ini ingin memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada mempertinggi
pengajaran tapi mengurangi tersebarnya pendidikan dan pengajaran.
e. Bahwa
untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaklah
dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun dan dari siapapun yang
mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan batin. Asas ini bertujuan
untuk mempertahankan kepribadiannya sepanjang masa (dalam masa penjajahan
maupun zaman kemerdekaan sekarang ini).
f. Bahwa
sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai
sendiri segala usaha yang dilakukan (zelfbegrotings-system).
Dari asas ini tersirat keharusan untuk hidup sederhana dan hemat.
g. Bahwa
dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk
mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan
anak-anak. Asas ini bertujuan untuk menampilkan pendidik-pendidiknya dalam arti
yang semurni-murninya, pendidik yang bekerja tanpa pamrih, ikhlas, penuh
pengorbanan demi kebahagiaan anak semata-mata.
Ketujuh asas
tersebut diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922, bertepatan dengan berdirinya Taman
Siswa dan disahkan oleh Kongres Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta pada
tanggal 7 Agustus 1930.
Dalam
perkembangan selanjutnya Taman Siswa melengkapi “Asas 1922” tersebut dengan
“Dasar-Dasar 1947” yang disebut pula “Panca Dharma”. Kelima dasar Taman Siswa
tersebut (Ki Mangunsarkoro, 1952, dari Wawasan Kependidikan Guru. 1982:
153-154) adalah:
a. Asas kemerdekaan
: disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri atas dasar nilai hidup yang
tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
b. Asas kodrat alam
: hakikat manusia sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam.
c. Asas kebudayaan
: memelihara kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan
kecerdasan zaman, kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin
tiap-tiap zaman dan keadaan.
d. Asas kebangsaan
: tidak bertentangan dengan kemanusiaan, mengandung rasa satu dengan bahasa
sendiri, rasa satu dalam suka duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan
hidup lahir batin seluruh bangsa.
e. Asas
kemanusiaan : darma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan yang
berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya, dan juga
bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi itu dapat dilihat pada kesucian hati
orang dan adanya rasa-kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan
seluruhnya.
Tujuan perguruan
kebangsaan Taman Siswa dapat dibagi dua jenis, yakni tujuan yayasan atau
keseluruhan perguruan dan tujuan pendidikan. Tujuan yang pertama itu (Pasal 8)
adalah :
a. Asas
Taman Siswa tahun 1922 Pasal 1, tujuan Taman Siswa sebagai badan perjuangan
kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai.
b. Pasal
13 yaitu tujuan pendidikan Taman Siswa ialah membangun anak didik menjadi
mahasiswa yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas
keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
2) Upaya-Upaya
yang dilakukan Taman Siswa
a. Menyelenggarakan
tugas mendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar hingga tingkat
tinggi, baik yan bersifat umum mauoun yang bersifat kejurua, serta memberi
pendidikan itu serba isi yang baik dan berguna untuk keperluan hidup dan
penghidupan masyarakat sesuai dengan asas, dasar, dan tujuan pendidikan Taman
Siswa dengan selalu mengingat atau menyesuaikan dengan kecerdasan zaman dan
kemajuan dunia.
b. Mengikuti,
mempelajari perkembangan dunia di luar Taman Siswa yang ada hubungannya dengan
bidang-bidang kegiatan-kegiatan Taman Siswa untuk diambil faedah sebik-baiknya.
c. Menumbuhkan
dan memasakan lingkungan hidup keluarga Taman Siswa, sehingga dapat tampak
benar wujud masyarakat Taman Siswa yang dicita-citakan.
d. Meluaskan
kehidupan ke Taman Siswaan luar lingkungan masyarakat perguruan, sehingga dapat
terbentuk wadah yang nyata bagi jiwa Taman Siswa, agar dengan demikian ada
pengaruh timbal balik antara perguruan atau keluarga dan masyarakat sekitarnya
pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
3) Hsil-Hasil
yang Dicapai
Hasil
pencapaiannya adalah gagasan atau pemikiran tentang pemikiran tentang
pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria sampai dengan
Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan. Ketiga pencapaian itu
merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan pendidikan, yang juga mungkin
dicapai oleh yayasan pendidikan lainnya.
2.
Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam
Ruang Pendidik INS
(Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohammad Sjafei (lahir di
Matan, Kalbar tahun 1895) pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam (Sumatra
Barat). INS pada mulanya dipimpin oleh bapaknya, kemudian diambil alih oleh
Moh. Sjafei. Dimulai dengan 75 orang murid, dibagi dalam dua kelas, serta masuk
sekolah bergantian karena gurunya hanya satu, yakni Moh. Sjafei sendiri.
Sekolah ini mengalami pasang surut sesuai dengn keadaan indonesia saat itu,
bahkan pada bulan Desember 1948 sewaktu Belanda menyerang ke Kayu Tanam,
seluruh gedung INS dibumihanguskan, termasuk ruangan pendidikan, pengajaran,
dan kebudayaan (RPPK) di Padang Panjang. Mei 1950 Ruang pendidik INS Kayu Tanam
bangkit kembali dan Moh. Sjafei mulai lagi dengan 30 orang siswa. Tahun 1952,
INS mendirikan percetakan Sridharma yang menertibkan majalah bulanan Sendi
dengan sasaran khalayak adalah anak-anak.
A. Asas dan Tujuan Ruang Pendidik INS
Kayu Tanam
Pada awal
didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut:
·
Berpikir logis dan rasional.
·
Keaktifan atau kegiatan.
·
Pendidikan masyarakat.
·
Memperhatikan pembawaan anak.
·
Menentang intelektualisme.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Moh. Sjafei mengembangkan asas-asas pendidikan INS
menjadi dasar-dasar pendidikan Republik Indonesia yang dikembangkan dengan
mengintergrasikan asas-asas Ruang Pendidik INS, sila-sila dari Pancasila, dan
hasil analisis alam dan masyarakat Indonesia, serta pengalaman sebagai guru
sekolah Kartini di Jakarta (1914-1922). Dasar-dasar pendidikan tersebut
(Mohammad Sjafei, 1979: 31-86; dan Said. 1981: 57-69) sebagai berikut:
·
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
·
Kemanusiaan.
·
Kesusilaan.
·
Kerakyatan.
·
Kebangsaan.
·
Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan
kejujuran.
·
Percaya pada diri sendiri juga pada
Tuhan.
·
Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin.
·
Bertanggung jawab akan keselamatan nusa
dan bangsa.
·
Berjiwa aktif positif dan aktif negatif.
·
Mempunyai daya cipta.
·
Cerdas, logis dan rasional.
·
Berperasaan tajam, halus, dan estetis.
·
Gigih atau ulet yang sehat.
·
Correct
atau
tepat.
·
Emosional atau terharu.
·
Jasmani sehat dan kuat.
·
Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan
Arab.
·
Sanggup hidup sederhana dan bersusah
payah.
·
Sanggup mengerjakan suatu pekerjaan
dengan alat serba kurang.
·
Sebanyak mungkin memakai kebudayaan
nasional waktu mendidik.
·
Waktu mengajar para guru sebanyak
mungkin menjadi objek, dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak
mungkin barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
·
Sebanyak mungkin para guru mencontohkan
pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
·
Diusahakan supaya pelajar mempunyai
darah satria, berani karena benar.
·
Mempunyai jiwa konsentrasi.
·
Pemeliharaan atau perawatan suatu usaha.
·
Menepati janji.
·
Sebelum pekerjaan dimulai, dibiasakan menimbangnya
dulu sebaik-baiknya dan kewajiban harus dipenuhi.
·
Hemat.
Sejak didirikan,
tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam adalah :
·
Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
·
Memberi pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
·
Mendidik para pemuda agar berguna untuk
masyarakat.
·
Menanamkan kepercayaan terhadap diri
sendiri dan berani bertanggung jawab.
·
Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
B. Usaha-Usaha Ruang Pendidik INS Kayu
Tanam
Beberapa usaha
yang dilakukan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam dalam bidang kelembagaan antara
lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti ruang rendah (tujuh
tahun, setara sekolah dasar), ruang dewasa (empat tahun sesudah ruang rendah,
setara sekolah menengah), dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa program
pendidikan INS tersebut sangat mengutamakan pendidikan keterampilan kerajinan,
dengan mengutamakan menggambar dan praktek mengajar (Said, 1981: 57-69). Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam juga menyelenggarakan usaha lain sebagai bagian
mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan sendi (majalah anak-anak), buku
bacaan dalam rangka memberantas buta huruf/aksara dan angka dengan judul kunci 13, mencetak buku-buku pelajaran,
dan lain-lain (Soejono, 1958: 46).
C. Hasil-Hasil yang Dicapai Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam
Hasil-hasil yang
dicapai Ruang Pendidik INS Kayu Tanam adalah mengupayakan gagasan-gagasan
tentang pendidikan nasional (utamanya pendidikan keterampilan kerajinan),
beberapa ruang pendidikan (jenjang persekolahan), dan sejumlah alumni. Beberapa
orang alumni telah berhasil menerbitkan salah satu tulisan Moh. Sjafei yakni Dasar-Dasar Pendidikan (1976), yang
ditulis pada tahun 1968 (cetakan kedua tahun 1979). Ruang Pendidik INS Kayu
Tanam diharapkan melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring dengan perkembangan
masyarakat dan iptek.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemikiran
tentang pendidikan sejak dulu, kini, dan masa yang akan datang terus
berkembang. Hasil-hasil dari pemikiran disebut aliran/gerakan baru dalam
pendidikan. Aliran/gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan di seluruh dunia,
termasuk pendidikan di Indonesia. Dari sisi lain, di Indonesia juga muncul
gagasan-gagasan tentang pendidikan, yang dapat dikategorikan sebagai aliran
pendidikan, yakni Taman Siswa dan INS Kayu Tanam.
Kajian
tentang berbagai aliran/gerakan pendidikan itu akan memberikan pengetahuan dan
wawasan historis kepada tenaga kependidikan. Hal itu sangat penting, agar para
pendidik dapat memahami dan pada gilirannya kelak dapat memberi konstribusi
terhadap dinamika pendidikan itu. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa
dengan pengetahuan dan wawasan historis tersebut, setiap tenaga kependidikan di
harapkan memiliki bekal yang memadai dalam meninjau berbagai masalah yang
dihadapi, serta pertimbangan yang tepat dalam menetapkan kebijakan/tindakan
sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtarahardja,
dkk. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Penerbit Rineka Cipta
Naim,
dkk. 2010. Pendidikan Multikultural
Konsep dan Aplikasi. Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media
Husamah,
dkk. 2015. Pengantar Pendidikan. Malang:
Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang
Komentar
Posting Komentar